Menguak Isi Villa
Verona yang tadi tengah kesal dengan Zara ternyata masih di dalam villa, dia ingin tahu isi villa, menjelajah mulai dari kamar-kamarnya, dan balkon villa yang dari luar nampak megah itu.
Perlahan-lahan kaki Verona melangkah di lantai yang bersih tak ada satupun kotoran yang menempel disitu. Verona memasuki lorong yang agak gelap dan lorong itu menuju ke dapur, Verona ingin menyalakan lampu-lampu supaya keadaan sekitar tidak gelap. Sesekali Verona menoleh kebelakang, entah takut ada yang mengikuti atau waspada saja. Kaki mungil Verona melangkah perlahan, rasa penasaran menyelimuti gadis cantik berambut panjang itu.
Tangannya meraba-raba tembok, dan tak sengaja dia merasakan seperti meraba sesuatu, Verona semakin merasakan apa yang di rabanya , ternyata tangan
Ya! Dia seperti meraba sebuah tangan, Verona berteriak kaget, entah tangan siapa, begitu dingin menggigit,
Verona merapatkan badannya ke dinding, nafasnya tersengal-sengal, jantungnya terasa sekali degupnya. Pandangan matanya lebih waspada dari sebelumnya. Verona masih kurang yakin dengan apa yang di rasakannya tadi. Kembali tangannya yang halus meraba tepat di bagian tembok dimana dia merasakan memegang tangan seseorang, dan ternyata tidak ada tangan siapapun. Verona mengerutkan keningnya. Dan tetap melangkah menuju ke ujung lorong.
Udara dingin alam menyelimuti ruangan, hawa dingin ini berasal dari pegunungan, semakin malam semakin dingin menusuk tulang, meskipun memakai jaket yang tebal tetapi masih saja terasa dinginnya, apalagi untuk warga kota yang tiba-tiba ke daerah pegunungan atau hutan tentu saja perubahan hawa ini sangat terasa.
Verona sampai ke dapur.
Dilihatnya sosok seorang perempuan berbaju kebaya lusuh yang tengah mencuci piring dengan bantuan cahaya lampu yang lumayan redup.
“ Apa dia yang namanya Bi Nah?” Verona mendekati perempuan itu. Suara langkah kaki Verona sengaja di ringankan olehnya supaya tidak terdengar oleh perempuan itu.
Tangan Verona perlahan menyentuh bahu wanita itu,
Waaa!
Verona dan perempuan tua itu teriak bersamaan.
“ Eneng ini siapa?” tanya wanita tua itu lengkap dengan logat jawanya yang kental.
“ Justru saya yang ingin tanya, ibu ini siapa dan kenapa disini sendirian?” balas Verona yang tangannya masih gemetar.
“ saya Bi Nah, pembantu disini, lalu Eneng ini temennya Den Andreas ya ?”
Aku mengangguk
Aku melirik apa yang dia kerjakan, ternyata mencuci piring-piring yang berserakan di tempat cucian piring.
“ Bibi,mencuci piring di tengah-tengah lampu redup begini?”
Aku berusaha mencari saklar lampu dapur , mungkin saja aku bisa menemukan lampu yang bisa berpijar terang. Tetapi pada saat aku menemukan saklar lampu , aku melihat bayangan Bi Nah di jendela dan bayangan itu bukan Bi Nah, bayangan itu sosok menyeramkan berbaju putih dan tidak terlihat mukanya, aku kaget tetapi terdiam. Mataku hanya tidak berani meihat ke arah Bi Nah yang sesungguhnya, tapi ku paksakan agar leherku menoleh ke Bi Nah, ternyata Bi Nah ada bahkan ikut bingung melihat wajahku yang kebingungan dan bayangan tadi yang bersosok Bi Nah? , ini membingungkan,
“Lalu siapa bayangan tadi? ” pikirku dalam hati.
“ Kenapa, Neng?”
“ Nggak papa, Bi…saya hanya cari teh manis, Bibi bisa buatin saya teh manis hangat?”
Bi Nah tak menjawab, hanya tersenyum dan mengerjakan saja apa yang jadi permintaanku.
Aku memperhatikan seluruh bagian tubuhnya, mulai dari rambut hingga ujung kaki, dan aku tidak menemukan sesuatu yang janggal darinya, berarti benar, apa yang dikatakan Andreas tentang villa ini.
“ Bi, ..boleh saya bertanya sesuatu?”
“ Tanya saja, Neng …asal jangan nanya matematika ya…Bibi ndak bisa.” Katanya sambil tertawa lepas.
Aku tersenyum, suasana kembali mencair, Bi Nah memberiku segelas teh manis hangat.
“ Apa benar villa ini berhantu?” tanyaku menyelidik.
Bi Nah menatapku dalam,
Aku tak mengerti apa arti tatapan itu, isyarat ‘iya’ atau ‘tidak’, aku membalas tatapannya dengan menaikkan alis mataku.
“ Ya”
Jawaban yang cukup singkat dan padat.
“ Bibi tidak takut disini sendirian?”
“ Nggak, Neng…sudah biasa.”
Tiba-tiba terdengar suara Andreas,Kevin dan Sean memanggilku. Aku meletakkan gelas yang ada dalam genggamanku ke atas meja dan menoleh ke mereka.
“ Ve, disini rupanya…” Andreas menghampiriku.
“ Ya, aku lagi bicara sama Bi Nah.”
“ Bi Nah?” Andreas terperangah mendengar jawabanku
“ …Mana Bi Nah?” tanya Sean.
Aku menoleh ke belakang tempat Bi Nah berdiri
Dan ternyata Bi Nah tidak ada. Aku jadi paranoid, ini gila. Orang yang barusan berbicara denganku ternyata menghilang dalam sekejap. Kemana Bi Nah?
“ Tadi aku berbicara sama Bi Nah, malah dia membuatkan aku Teh hangat, aku menunjuk gelas yang berisi teh. Tenyata isi gelas kosong, tidak ada teh sama sekali. Aku semakin takut, aku merapatkan diri ke Andreas. Andreas lalu menarik tanganku.
“ Ku kasih tahu ya, Bi Nah itu datangnya jam 5 pagi dan pulang jam 5 sore. Jadi dia sekarang sedang tidur-tiduran di rumahnya. ”
“ Lalu siapa tadi yang kulihat?”
Andreas tidak menjawab hanya mengangkat pundak dan alisnya yang tebal. Segera beranjak dari tempat itu, dan aku semakin merinding ketika meninggalkan tempat itu, berarti bayangan yang aku lihat di jendela tadi adalah sosok Bi Nah yang ‘palsu’. Sedangkan Bi Nah yang asli sudah pulang sedari jam lima sore.
©©©©
Di kamar , aku semakin jenuh dan pusing dengan cerita Zara, tentang cerita seramnya yang dialami tadi sore. Ku tutupi saja wajahku dengan bantal. Aku hanya diam dan sesekali membalikkan badanku.
“ Sudahlah, Zar…tidur saja dan lupakan kejadian tadi sore, aku pusing banget, apa kamu juga tidak capek di dalam mobil seharian dan sekarang belum tidur juga, ini sudah malam.” Kataku dengan nada tinggi.
Zara kini terdiam,
lalu merebahkan diri di sampingku.
Dan setelah beberapa menit tak ada suara , maka aku membalikkan badanku tepat berhadapan dengannya. Aku melihatnya sudah terlelap. Tak bisa di percaya, aku tidur dengan rivalku, aku tidur sekamar bahkan seranjang dengan orang yang selama ini ak benci. Kini pikiranku mendadak langsung ke Sean, tentang Sean yang sudah mulai tertarik denganku namun datanglah si penggoda,Zara.
Rival,lawan
Verona mendengus kesal.
Ditengah-tengah Verona menggerutu,tiba-tiba seperti bunyi jendela yang terbuka. Bunyi derikkan kayu yang cukup jelas terdengar dan seolah ada angin yang menggerakkannya, Verona terdiam. Sesekali telinganya menajamkan bunyi tadi. Dan benar, ternyata jendelanya belum tertutup sehingga angin malam membukanya.
Verona membalikkan badan dengan was-was, perlahan dia bangun dari tempat tidur dan beranjak menuju ke jendela. Jendela yang terbuat dari kayu itu sepertinya sudah sangat tua tapi masih kokoh. Hembusan angin yang menerpa jendea kini di rasakan di kulit Verona juga.
Tangan Verona meraih daun jendela,dan ingin menutupnya tetapi tiba-tiba
Muncul pocong di depan jendela,
Verona berteriak dan tak sadarkan diri.
Teriakkan Verona membangunkan Zara dan Zara memanggil yang lainnya. Segera saja Ian, Kevin, Andreas , Jefta dan Sean berhambur keluar kamar dan masuk ke kamar Verona.
Jefta langsung menggendong tubuh Verona dan meletakkan di kasur, sementara Kevin mengambil air mineral botol yang ada di meja.
“ Kenapa dia, Zara?” tanya Jefta.
“ Aku nggak tahu, Jef…aku tertidur dan tiba-tiba dia berteriak lalu pingsan.” Jelasnya.
“ Tolong, cari minyak kayu putih atau balsam.” Perintah Jefta sambil memijit kaki Verona.
“ Ve…Ve…bangun Ve!” Ian menepuk pipi mulus Verona.
Minyak kayu putih pun di oleskan ke hidung Verona, dan Verona mulai siuman.
Veromna melihat teman-teman berkumpul mengelilinginya.
Verona memeluk Jefta,
“ Kenapa, Ve?” Jefta berbisik
“ Aku lihat pocong di jendela, Jef..” kata Verona serak.
“ Sst, sudahlah…ada aku disini, aku nggak tidur mala mini. Jagain kamu..sekarang kamu tidur ya.” Jefta melepaskan pelukan Verona.
Ian dan yang lain keluar dari kamar karena mereka melihat Verona sudah tenang. Mereka kembali ke ‘kubu’ masing-masing. Dan malam itu Jefta menjaga Verona dan Zara tanpa tidur. Untuk memastikan seberapa aman keadaan kamar Verona.
Jefta menatap wajah Verona yang terlelap, sambil mengelus rambutnya yang halus lembut. Sesekali melihat jam dinding yang membisu hanya menunjukkan waktu saja padanya. Jefta sama sekali tak mengantuk, rasa kantuknya hilang karena rasa cintanya kepada Verona. Jefta tak menghiraukan meski terkadang dia mendengar suara-suara yang mengerikan atau bunyi-bunyian keras lainnya. Jefta sama sekali tak bergeming atau ketakutan.
©©©©
Pagi di villa bukit Coban Rondo sangat sejuk, udaranya segar dan tidak tercemar oleh apapun, bau dedaunan segar tercium dari atas pohon, suara-suara burung berkicau melengkapi indahnya pagi itu, cahaya matahari masuk dari lubang angin yang ada di setiap jendela. Pertanda bahwa sudah pagi yang bertugas menggantikan malam yang mencekam.
Tak di pungkiri indahnya pagi itu oleh Ian dan yang lainnya,
Tetapi Verona masih terlelap di ranjang empuknya.
“ Bagaimana Verona, Jef?” tanya Ian yang memunculkan kepalanya dari balik pintu.
“ Udah tenang,kok…ini masih tidur lelap.” Jawab Jefta setengah berbisik sebab dia takut membangunkan Verona, tapi terlambat Verona sudah membuka matanya dan tersenyum ke Jefta.
“ Bagaimana Ve? Sudah baikan?” tanya Jefta.
“ Sudah, makasih ya sudah semalaman menjaga aku.”
“ Tenang saja, kamu ini anggap aku siapa? Sudah biasa kok. Sudah tugasku menjagamu,kan?”
Aku mengangguk, lalu bangkit duduk di ranjang,
Jefta beranjak dari tempat duduknya dan membuka jendela, cahaya dan udara segar masuk dari jendela kamar. Dinginnya udara kali ini bukan yang menggigit seperti udara tengah malam. Verona menghela nafas panjang dan merasakan udara segar yang dia hirup. Benar-benar melegakan. Ingin rasanya keluar dan jalan-jalan.
“ Jangan bangun dulu kalau masih pusing” saran Jefta.
Aku tak menjawab,hanya menggelengkan kepala dan tersenyum pada Jefta,
“ mau kemana, sih?” tanya Jefta menghampiriku dan memapahku.
“Aku nggak papa kok, Jef…aku udah baikan, aku pingin jalan-jalan keluar.” Pintaku ke Jefta.
“ Ya sudah, mau ku temani?” Jefta menanyakan jasa padaku.
“ Boleh”
Dan kami pun jalan-jalan keluar villa.
Kami menuruni jalan setapak yang ada dan berjalan di tengah-tengah indahnya hutan yang masih belum banyak terhuni orang. Semak belukarnya saja masih setinggi bahu orang dewasa. Tapi bagi kami ini semua alami, belum lagi cuaca pagi ini sangat nyaman sekali. Suara burung-burung berkicau menambah serasinya alam Coban Rondho. Aku menikmati nyanyian alam ini dan kami sampai pada anak sungai yang mengalir jernih di antara hutan ini, batu-batu kali yang cukup besar bisa dimanfaatkan untuk bermain di sekitar anak sungai ini. Kami pun menyempatkan bermain percikan air yang dingin.
“ Ini jam berapa,Jef?” tanyaku.
“ Jam 7.30, kenapa?”
“ Aku pingin lihat pasarnya. Aku mau kesana, temani aku,yuk…” ajakku
“Denger-denger pasarnya murah dan semuanya ada, aku mau membeli beberapa sayur dan buah untuk aku masak, Jef”
“ Kamu masak? Wah aku bisa sakit perut ni, aku mau beli obet sakit perut dulu,aah.”
“ Jahat banget, sih!” aku menggelitiki Jefta
Kami berdua berjalan ke atas sambil menikmati indahnya hutan kali ini ,
sampai kami menemukan pasar rakyatnya.
Ramai benar suasananya dan ini sangat menyenangkan sekali.
Aku asyik sekali membeli buah dan sayur,
“ Jeruk ini berapa, bu?”
“ Sekilo lima ribu rupiah,neng”
“ Saya ambil sekilo ya bu.”
“ Tinggalnya dimana , Neng? Kok kayak bukan orang sini?”
“ Saya tinggal di Jakarta, tapi ini lagi nginap di villa teman.” Jelasku,
“ Villa mana, neng? Yang di atas bukit itu?”
“ Iya, bu”
Dia menatapku heran dan seperti menyimpan sesuatu yang misterius. Aku merasakan hal-hal yang mencurigakan dari pandangan matanya.
“ Memangnya kenapa, bu?”
Dia terdiam dan menggelengkan kepala saja.
“ Bu, ada apa? Tolong kasih penjelasan ke saya, kenapa dengan villa itu?”
Tetap saja dia terdiam dan menimbang buah yang kami sudah sepakati jumlah dan harganya.
“ Ayolah , bu beritahu kami ada apa dengan villa itu. Ini menyangkut kami semua.” Kata Jefta.
Ibu penjual jeruk itu memandang kami dalam-dalam dan dia akhirnya mau buka mulut juga.
“ Hati-hati ,nak…villa itu memakan banyak korban seperti minta tumbal,gitu.”
“ Minta tumbal bagaimana?” Jefta panasaran, aku pun mulai mengerutkan keningku.
“ Nak, villa itu tiap bulan minta tumbal, kata orang-orang setempat tumbal untuk pesugihan yaitu orang yang mencari kekayaan dengan cara tumbal.”
“ Masa,bu?...dari mana ibu tahu akan hal itu?” aku semakin penasaran.
Wanita tua itu tidak menjawab, hanya memandangi kami berdua.
“ Sebaiknya kalian cepat pergi dari rumah itu, sebelu terjadi korban selanjutnya.”
Wanita itu memberikan uang kembalian dan tidak berkata apa-apa lagi.
Aku dan Jefta segera pergi meninggalkan penjual buah itu dan tentu saja dengan perasaan yang bercampur,antara heran, ketakutan dan rasa tidak percaya.
“ Apa-apaan sih, pakai bilang ‘tumbal’segala. Memangnya ini zaman apa?” Jefta dongkol bukan main, dia menilai wanita penjual jeruk tadi mengada-ngada.
“ Iya, tapi coba kita pikir sejenak, mungkin dia hanya memperingatkan kita saja, bukan menakut-nakuti, Jef.”
“ Aku sama sekali nggak suka dengan expresinya, Ve.”
“ Sudahlah, kita lanjutkan kembali belanjanya, ya.” Aku menarik tangan Jefta, dan Jefta tersenyum simpul dan mengikuti permintaanku.
Kami asyik belanja dari satu tempat ke tempat yang lain,untuk makan siang dan makan malam jadi kami harus berbelanja agak banyak, Jefta juga tak segan-segan untuk menawar harganya, aku sangat senang sekali dengan situasi pasar rakyat ini. Karena kami sudah jenuh dengan padatnya ibukota. Dan termasuk panasnya udara dikota.
“ Jujur saja, Jef, aku sangat senang dengan suasana disini , tenang, sejuk, masih banyak tumbuh-tumbuhan, lihat orang-orangnya…seperti alami semuanya. Tidak ada macet lalu lintas, udara yang panas dan semuanya yang ada di kota tidak aku temui disini, Jef”
“ Aku setuju, tapi apa kamu juga sudah lupa dengan apa yang kamu alami tadi malam?”
“ …Tempat ini banyak hantunya, Ve.” Lanjut Jefta.
Aku sempat terdiam dan mengingat kejadian tadi malam, yaitu aku melihat pocong di jendela kamarku. Aku berteriak dan pingsan.
“ Ya mungkin itulah salah satu kekurangannya. Dan aku yakin tidak akan takut kalau ada temannya.” Jawabku.
“ Jadi kalau mau tinggal di daerah ini, aku sarankan kamu nyari saja daerah yang di dekat rumah penduduk atau lereng bukit, biar ada temannya.”
Aku membalas saran Jefta dengan senyum manis. Dan aku ingin sekali membeli bumbu- bumbu dapur sebagai pelengkap masakan.
“ Bu, bawang putih dua ribu, bawang merah dua ribu, bayam seikat.” Kataku.
“ ya, lalu apalagi , mbak?”
Aku menujuknya dengan jari telunjukku. Ini dan itu semua yang di perlukan dalam hal masak-memasak , karene aku ingin memasak beberapa macam masakan yang bisa dimakan oleh kami bertujuh.
“ tinggal di mana, neng?” tanya ibu paruh baya itu sambil memberikan belanjaannya padaku.
“ di villa di atas bukit.” Jawabku ringan,
Ternyata jawabanku membuatnya terkejut.
“ di villa atas bukit,kan?” ulangnya.
“ya, kami tinggal untuk beberapa hari.” Jelas Jefta
“ Neng, villa itu cukup angker dan sudah memakan banyak korban, sebaiknya kalian jangan tinggal di villa itu, kan masih banyak villa lain, kenapa harus villa itu?” tanyanya dengan wajah tegas,
“ kita hanya berlibur di villa itu untuk beberapa hari saja.” Jelasku.
“ nak, sebaiknya cepat menyingkir sebelum terjadi sesuatu dengan kalian.”
“ terima kasih atas sarannya.”
Kami pun segera pergi dari situ.
“ kita pulang, yuk,..kita harus kasih tahu teman-teman yang lain tentang angkernya villa dan tumbal yang di jadikan pesugihan , karena sudah dua orang yang memberikan peringatan yang aneh kepada kita.”
Rupanya panjelasanku masuk di akal Jefta. Dan Jefta pun segera balik ke villa,ketika di tengah jalan, kami bertemu bapak-bapak yang sedang mengendarai andong. Dan sengaja kami berdua naik kereta kuda yang melewati kaki bukit.
“ pak, kami ingin tahu tentang apa saja yang bapak ketahui tentang villa bukit itu”
“ villa yang ditas bukit itu Neng?” tunjuk bapak tua itu,
Kami mengangguk dan serempak berkata ‘iya’.
Sambil menjalankan andongnya, bapak itu menceritakan apa saja yang diketahuinya tentang rumah besar di atas bukit itu.
“ bapak sudah mengelilingi jalan ini dengan andong bapak selama 30 tahun, dan memang villa di atas bukit itu sangat angker, dulu villa itu milik seorang Belanda dan tidak tahu kenapa dia meninggalkan villa itu begitu saja, setelah kosong beberapa tahun, ada kerusuhan G30S/PKI dan pembantaian di lakukan besar-besaran di dekat villa itu, neng.”
“ dan villa itu menjadi angker, gitu?” selidik Jefta.
“ Ya begitulah ,nak.” Sahut bapak tua berbaju lusuh itu.
“ lalu apa hubungannya dengan tumbal yang di beritahukan orang-orang yang ada di pasar tadi?” tanyaku
“ Wah, kalau itu bapak tidak tahu , nak…”
“ terima kasih atas ceritanya, ya,Pak…”
Kami pun segera turun dari andong tua yang masih mampu berjalan puluhan kilo dari atas ke bawah bukit tiap harinya. Sungguh seorang yang sangat tegar menghadapi kenyataan. Di antara tubuhnya yang rapuh dan renta terdapat semangat dalam hidupnya.
©©©©
To Be Continued....