Korban berjatuhan di Villa
Siang itu aku memasak dengan Bi Nah di dapur, sekaligus belajar memasak dengan Bi Nah, sementara teman-teman yang lain bercanda di ruang tengah, Zara tidak membantuku karena asyik pacaran dengan Sean, tak apalah, lebih baik begitu dari pada aku marah-marah karena ketidak nyamanan suasana dapur kalau ada Zara,aku tenang masak dengan hasil yang memuaskan , di tambah tenaga Bi Nah yang sangat rajin membantuku. Tangannya terampil sekali membantuku memasak. Usianya yang sekitar lebih dari setengah abad itu selalu tersenyum dan sabar sekali dalam memasak.
“ Yang ini di goring Cuma sebentar, neng…”
“ ya, biar saya yang menggoreng, Bi.”
“ nanti biar saya yang mbuat sambel gorengnya, Neng.” Katanya yang masih kental dengan logat jawanya.
Begitulah salah satu percakapanku dengannya seputer memasak. Dalam sekejap dapur menjadi riuh dengan suara penggorengan dan panci-panci, aroma wangi kuliner yang kita buat menjadikan perut lapar.
Di ruang tengah, Jefta, Ian Kevin dan Andreas di ruang tengah asyik bermain gitar dan bernyanyi, sesekali mereka berbincang lalu tertawa keras.
“ gimana,Friend? Kalian betah ‘kan disini? Sudah terbiasa dengan hantu?” tanya Andreas dengan nada yang mengejek.
“ Udah, tuh malah kita berteman baik denga hantu.” Timpal Kevin.
“ Jangan ngomong sembarangan, Friend…Lo nggak inget apa? Kemarin siapa yang wajahnya mendadak pucat? “ ejek Ian.
Mereka terbahak keras.
“ halah sama aja, kemarin juga siapa yang lari marathon sama Jefta? Kayaknya lebih cepat lari Lo dari pada kangguru.” Kata Kevin yang nggak mau kalah.
“ sudah-sudah. Nanti kita bisa punya cerita pas pulang nanti” Andreas memakan wafer yang sudah terbuka.
“ Lo, Zar..koq nggak bantu-bantu si Vero?” Jefta menyelutuk keras.
“ Cewek ‘kan bantu di dapur. Kasihan Vero masak sendirian.” Ian ikut menimpali.
“ Nggak, ah…aku nggak suka masak. Enaknya maka saja. Siapa bilang dia sendiri , dia ditemani Bi Nah kok.” Jawabnya enteng.
Jefta kurang puas dengan jawaban Zara, memang dia tahu kalau Verona pun tak menyukainya, Jefta hanya menghela nafas panjang saja.
“ Ya tapi kan kalian sama-sama cewek, harus kompak lah apalagi urusan dapur.” Saran Ian.
Rupanya saran Ian tidak bisa di terima dengan Zara. Sean mengajak pindah saja daripada nanti timbul keributan dengan Ian dan Jefta.
“ sayang, kita pindah tempat yuk, lebih baik kita jalan jalan saja di belakang villa.” Bisik Sean mesra di Zara,
Zara setuju,
“ Yuk…” balasnya.
Kemesraan mereka tonjolkan di depan teman-teman yang lain, dan menganggap mereka semua hanya iri dengan kemesraan mereka.
Ian , Kevin , Jefta dan Andreas hanya menatap mereka berdua dengan wajah yang sedikit kesal.
“ mereka hanya iri pada kita, sayang…” kata Sean.
“ pasti, mereka kan tidak punya pasangan disini,” ujar Zara.
Sean tertawa, mereka berpelukkan mesra menuju ke belakang villa,
Di belakang villa, ada bangku taman yang langsung menuju ke hutan tanpa adanya tembok pembatas, hanya berbatas tanaman kecil saja. Untuk menuju ke taman belakang harus melewati pagar yang ramping yang tinggi, pagar besi itu sudah tua dan tidak terawatt seperti bagian rumah yang lainnya, mungkin karena letaknya di belakang jadi tidak di perhatikan atau jarang sekali mereka menuju ke belakang villa. Mereka duduk di bangku taman itu. Suasana memang sudah menjelang siang tetapi suasana tetap sejuk karena rindangnya pohon-pohon sekitar.
Mereka asyik memadu kasih, bercumbu, berciuman dan sesekali tertawa cekikikan, dan saat itu juga ada yang ikut tertawa cekikikan juga. Mereka terdiam sejenak
“ mungkin tadi suara kita menggema,Zar.”
“ masa sih, kedengarannya beda, Sean.”
“ perasaanmu saja…”
Lalu mereka berpelukan dan berciuman kembali. Mereka tak sadar ada yang melihatnya.
Ya, sosok kuntikanak memandang mereka dar jauh, didekat pohon bamboo yang rindang. Sean dan Zara tidak menyadarinya, dan asyik berpacaran saja.
Entah apa yang di bicarakan mereka lalu mereka berdua tertawa cekikikan kembali dan tertawa mereka diikuti oleh kuntlanak itu. Untuk yang kali ini tertawanya lebih nyaring terdengar. Memekakan bulu kuduk mereka.
“ Sean, kamu dengar tidak?”
“ Apa?”
“ Suara tertawa asing itu makin nyaring.”
“ kamu ini mengada-ngada saja. Tidak ada siapapun disini, hanya kita berdua, sayang.”
“ Sean, ini benar. Aku dengar sendiri, kali ini lebih keras terdengar.”
“kita lanjutkan kembali, Honey… aku sayang kamu.” Sean mencium kening Zara lalu memeluknya erat-erat. Zara menikmati pelukan Sean tetapi ketika dia membuka matanya, ternyata kuntilanak itu sudah di depannya tak jauh dari mereka, berjarak kira-kira lima langkah dari mereka.
Zara berteriak histeris, berteriak sekuat-kuatnya, Sean terkejut setengah mati.
“ Ada apa sih?”
“i..i..itu…di bela..kangmu…” ungkapnya terbata-bata.
Sean menoleh ke belakang seperti yang Zara maksud dan dia melihat kuntilanak yang menyeringai dengan wajah yang menyeramkan , lalu tertawa cekikikan dengan nyaring sehingga memekakkan telinga dan membuat bulu kuduk berdiri.
Sean lari terbirit-birit meninggalkan Zara begitu saja, sedangkan Zara juga tidak tahu lari kemana, mereka berpencar satu sama lain.
Sean berlari kearah jalan semula yang ia lewati bersama Zara, sesekali Sean menegok ke belakang, Sean berteriak keras,
“ TOLOONG!!!”
Namun tak ada seorangpun yang mendengarnya. Sean tetap saja berlari tetapi sial, tangan pucat itu meraih kakinya, Sean jatuh terguling, tangan setan itu menariknya. Sean sekuat tenaga mencari pertahanan dan membuat perlawanan, tangannya berhasil meraih kayu yang tergeletak di lorong villa yang sedikit gelap. Untuk sesaat tangan yang menariknya itu tidak ada, Sean tidak merasakannya lagi. Keringat dingin mengucur deras dari cowok berparas tampan itu. Jaket yang dikenakannya menjadi kotor dan lusuh.
Sean berdiri.
“ Zar!!! Zara…”
Sean mengamati keadaan sekitar dan memanggil Zara.
Di dalam villa yang remang-remang itu tiba-tiba terdengar bunyi suara orang berjalan mendekatinya. Sean menajamkan telinganya, dari arah manakah suara itu. Terdengar semakin jelas mendekat.
“ Zar, itu kamu’kan?”
Tetap tak ada sahutan.
Sean berdiri di tempat dan tidak beranjak satu centipun dari lantai yang dipjaknya.
Tiba-tiba suara itu menghilang, dan kini suasana lorong menjadi senyap.
Sean tetap saja was-was. Setelah merasa aman sepuluh detik , kakinya mulai melangkah berlahan dan…
Tiba-tiba di hadapannya ada wanita pucat bermata hitam cekung, dan menyeringai.
Sean berlari ketakutan, tetapi kali ini dia kurang waspada dengan apa yang ada di sekitarnya. Sean terjatuh dan kepalanya tertusuk besi yang ada di pinggir tembok batu itu. Darah segar mengucur deras, dan Sean masih sempat meringis kesakitan. Dan tak lama kemudian Sean tak bernyawa. Mayatnya begitu menggenaskan.
Sementara Zara bersembunyi di balik pepohonan dan semak belukar.
Ya, Zara masuk ke dalam hutan,
suasana hutan menjadi semakin gelap seperti mendung, Zara tetap saja jongkok dan tak beranjak dari tempat persembunyiannya. Mungkin karena di dalam semak dia merasa aman. Namun tetap saja badannya gemetar ketakutan, karena Zara melihat dengan jelas penampakan yang baru beberapa saat tadi di lihatnya.
Sesekali kepalanya menoleh ke belakang untuk mengetahui keadaan sekitar.
Tangan Zara merangkul lututnya, hatnya sungguh ingin kembali ke villa, tetapi takut dengan apa yang baru saja dilihatnya.
Tangan mungilnya merogoh kantong jeansnya, dia mencari handphone , ternyata ada!
Dia mulai menekan tombol menu lalu ke list nama teman-temannya.
Nomor Sean di dial,
“ Masuk!!!” pekiknya girang.
Memang nadanya masuk, dan handphone Sean bergetar saja di kantong jaket Sean, tapi sayang…Sean tidak bisa menjawabnya lagi.
Zara mencobanya untuk beberapa kali. Dan tentu saja hasilnya nihil.
Lalu Zara mencoba untuk mendial teman –teman yang lain ,
Kali ini yang di telpon Verona, dan nyambung!!!
Handphone Verona berdering nyaring dan Nampak di screen handphone nama ‘ZARA’ memanggil.
“ ada apa lagi sih ni anak? Bikin repot saja.” Dengus Verona kesal.
Ingin rasanya di abaikan namun di sisi lain hatinya ingin juga di angkat, dan Verona memutuskan untuk mengangkat handphonenya.
“ HALLO! Ada apa?”
“ VE, Bantu aku sekarang. Tolong aku!”
“ Ada apa lagi sih? Aku lagi siap-siapin makan siang ni”
“ Ve…dengerin aku, Ve…” Zara mulai menangis.
Terdengar jelas suaranya parau dan ingin mengharapkan sesuatu.
“ Ya udah, sekarang aku dengerin…ada apa?” tanyaku mulai serius dengan kata-katanya.
“ Ve, tadi aku lihat penampakan kuntilanak di belakang villa, lalu kita di kejar hantu itu.”
“ kita? Di kejar?” tanyaku makin penasaran.
“ Ya, aku dan Sean lagi pacaran di belakang villa, Ve…”
Aku sempat terdiam untuk beberapa saat.
“ lalu kenapa kamu sekarang dimana?”
“ aku dan Sean berpencar, entah sean dimana sekarang, aku lari masuk ke hutan pinus nih..”
Belum selesai bercerita, sudah terdengar teriakan yang melengking, teriakan Zara sangat menyayat hati.
“ ZAR…ZARA!!!...JAWAB ZAR!!!” teriakku berulang-ulang,
Aku panic tujuh keliling, aku nggak tahu harus gimana.
“ Bi, Bibi selesaiin ni sendiri ya…saya ada keperluan. Maaf ya, Bi…” ujarku setengah kesal campur bingung.
Aku menjambak rambutku sendiri.
Aku berlari ke ruang tengah, dan kudapati mereka asyik bercanda satu sama lain.
“ kalian, tolong Sean dan Zara ya…” perintahku mendadak, dan aku pun masih belum bisa mengatur nafasku.
“ Zara? Sean?” tanya Ian.
“ Iya…Aduuh…” jawabku panic.
“ Ada apa, sih? Kayak kambing kebakaran jenggot.” Canda Kevin.
“ Tenang , Ve…Kamu atur nafas lalu cerita pelan-pelan.” Saran Jefta.
Jefta benar, aku sadar kalau aku terlalu panic dan berpikir yang macam-macam. Ian menggandengku ke sofa dan aku terduduk. Lemas rasanya badanku ini.
“ aku baru saja di telpon Zara, Jef…dia panic banget.”
“ panic kenapa?” tanya Ian, Kevin , Jefta , dan Andreas nyaris bersamaan.
“ Aku juga nggak tahu katanya mereka pacaran di belakang villa lalu ada penampakan dan akhirnya mereka berdua di kejar hantu itu.”
“ Ooh, pantes pindah ke belakang villa, kan mau in the Hooy ,Friend..” ujar Kevin berseloroh.
“ Ya tapi mereka sepertinya mendapat musibah.” Aku mulai terpancing keadaan.
“ Musibah apa? Kan mereka lagi asyik. Masa kita ganggu?” kata Ian.
“ Ian, Ini benar. Suara Zara tadi Nampak ketakutan, aku khawatir banget.” Bantahku.
“ baiklah kita susul mereka ke sana.” Usul Andreas.
“ Menurutku sih, nggak usah aja…orang pacaran kok di ganggu? Lagi pula mereka kan suka ngerjain orang.” Cegah Kevin.
“ Vin, ini sungguh-sungguh, kenapa sih kamu nggak percaya sama aku?” aku kesal setengah mati.
“ Maaf, Ve… aku juga kesal sama mereka.” Kevin mengakui.
“ Sudah lah itu nggak penting banget!! Sekarang kita cari mereka, Yuuk…” ajak Ian.
Kita berlima setuju dan akhirnya kami mulai pencarian Zara dan Sean,
“ kalian bertiga saja,Andreas, Kevin dan gue...” Ian mengkomandoi mereka.
“ Lalu Jefta dan Verona, kalian berdua saja nggak papa, kan?” tanya Ian.
Aku dan Jefta bersama-sama juga tak pernah jadi soal, aku malah lebih senang kalau satu team dengan cowok manis yang aku kenal sejak kecil ini.
“ As, sebaiknya kamu kasih tahu ke kita gimana keadaan belakang villa.” Jefta memberi saran.
“ Ya, Villa ini memang punya halaman belakang. Kalian harus melewati lorong dulu hingga berujung pagar yang sudah reot. Disitulah halaman belakang villa ini, di belakang villa juga ada hutan, ” jelas Andreas.
“ kalau begitu tunggu apalagi? Aku khawatir mereka kenapa-kenapa” aku begitu khawatir dengan keadaan mereka.
Kamipun tanpa dikomando sudah bergegas mempersiapkan diri untuk menuju ke tempat Sean dan Zara.
“ Sebaiknya kita berpencar dulu.” Tiba-tiba Andreas member saran.
“ Kok berpencar? Kan lo juga sudah tahu kemana arah mereka pergi.” Aku heran sekali mendengar usulnya.
“ Kan mereka bisa saja berlari berpencar. Entah kemana, belum tentu ke arah hutan.” Kata Andreas membela pendapatnya.
“ ya udah! Cepetan Aah…aku benar-benar khawatir.” Aku cemas sekali.
“ Ya iya, andreas dan Kevin kesana, aku, Jefta dan Verona ke arah sini. Nanti kalau ketemu mereka berdua atau sesuatu yang mencurigakan kalian langsung telpon saja ke handphone kita.” Saran Ian.
Andreas dan Kevin mengangguk tanda mengerti, aku segera berlari disusul oleh Ian dan Jefta, aku berlari sekencang-kencangnya, aku berusaha mencari pagar seperti yang dimaksud Andreas, dan…
“ KETEMU, Itu pagarnya,Ian…” aku menunjuk ke pagar yang sudah karatan itu.
Kami berhenti di depan pagar itu, aku melongok dan menajamkan pandangan mataku. Di dalam memang lorong yang gelap dan sepertinya lorong yang agak panjang.
“ Ian, Jef…pagarnya nggak di kunci.” Kataku dan aku berusaha membuka selot yang mengunci tetapi tidak di gembok dari dalam.
Tanganku meraih selotnya dan bunyi derik pagar yang karatan nyaring terdengar.
Ian, Jefta dan aku mulai sedikit was-was, Jefta segera menyalakan senter yang ia bawa. Nyala lampu senter cukup membantu tetapi tidak cukup mengalahkan gelap yang menutupi ruangan. Ian juga membawa senter dan dia nyalakan untuk membantu penglihatan kita.
Langkah kaki kita tedengar gemanya di lorong villa, lorong kali ini berbeda dengan apa yang aku temui sebelumnya, lorong yang agak kotor dengan sedikit tanah, dan daun-daun kering. Tembok-temboknya juga di biarkan berupa batu bata saja, udaranya pengap dan bau. Mata kami saking teliti satu sama lain. Kami mengarahkan cahaya lampu senter ke segala arah. Jujur jantungku berdebar-debar,aku juga melihat Ian dan Jefta sangat waspada dengan keadaan sekitar. Sepintas kami merasakan ada sesuatu yang lewat di belakang kami, sepintas juga kami merasakan sesuatu yang berdiri di belakang kami, Jefta merinding. Ian mulai cemas, kalau aku bergetar, ini seperti mimpi buruk yang belum selesai.
Kami tetap melangkahkan kaki berlahan lahan, Jefta dan Ian sudah mulai agak menjauh dan tiba-tiba terdengar bunyi dari ujung lorong, seperti lemparan batu, kami tersentak kaget, dan spontan pandangan kami tertuju pada arah bunyi itu. Kami berlari ke arah lemparan batu dan kaki ku tersandung sesuatu. Otomatis aku melihat ke bawah , dan apa yang sebenarnya ku injak,
Aku berteriak histeris,
Ian dan Jefta menghampiriku…aku menunjuk langsung,sesuatu itu adalah mayat Sean.
Jefta ikut berteriak histeris, Sean mati dengan tragis,
Aku menangis sejadi-jadinya, biar bagaimanapun aku masih mencintai Sean, walaupun Sean memilih Zara, aku masih menyimpan rasa itu dalam hati. Aku sangat kehilangannya, Ian memelukku,Jefta menenangkanku dan menghiburku walaupun aku tahu dia juga takut dan kaget setengah mati tadi…
Ian membalikkan mayat Sean yang telungkup, darah masih mengucur deras dari lukanya,
“ sepertinya dia mati kecelakaan, melihat posisi luka robeknya.” Kata Ian.
Ian menutup wajah Sean dengan jaketnya, meletakkan mayat Sean di pinggir lorong,sedangkan aku masih berusaha menguasai diriku, aku tidak percaya Sean yang ada di hadapanku saat ini adalah sudah berupa jenazah.
“ kita letakkan Sean disini dulu saja, sekarang kita cari Zara saja dulu. “ saran Ian.
“ Ian, kita hubungi yang lain aja dulu. Kita kasih tahu Kevin kalau Sean udah ketemu.” Jefta mengingatkan Ian dengan apa yang sudah di sepakati tadi.
Ian mengangguk. Tangannya segera merogoh kantong celananya karena handpohonenya ada di dalam kantong celananya.
Bunyi tuts handphone terdengar jelas di dalam lorong, sinyalnya agak melemah karena kami didalam lorong,
“Sial, sinyalnya lemah, Kevin nggak bisa di hubungi” Ian mendengus kesal.
Tiba-tiba lampu senter meredup, dan Jefta mulai gelisah.
“ Wah, gawat. Lampu senternya meredup,nih…”
“ Coba matikan lalu nyalakan lagi,” saranku.
Jefta menurut dan mencoba saranku, lampu senter di matikan dan di coba untuk menyalakan lampu kembali. Senter itu di ketuknya berkali-kali.
“ kamu nggak ngecek dulu baterainya habis atau nggak?” aku kesal banget di saat begini kenapa ada-ada saja halangannya.
“ aku udah mengganti baterainya dengan yang baru sebelum kita berangkat kemari.”
“ Sudah-sudah, malah bertengkar, sih? Mungkin saja pada bagian lampunya jadi bukan baterainya, kita cari Zara lagi, lagi pula masih ada satu senter.” Nasehat Ian.
Aku dan Jefta sadar bahwa ini bukan saat yang tepat untuk bertengkar masalah apapun. Kami bertiga meninggalkan mayat Sean di sini dan melanjutkan kembali pencarian. Kami berlari tanpa menghiraukan gelapnya lorong, kami berusahauntuk mencapai ujung lorong , namun sepertinya kami dimain-mainkan oleh penghuni lorong ini atau apa, kita sudah berlari sejauh mungkin tetapi tidak menemukan ujung pangkal lorong ini. Rasanya sudah seperti mau mati saja, bagaimana tidak? Nafas kami mulai tersengal-sengal karena udara yang pengap dan kami berlari,
“ sebentar, Ian …” cegahku.
“ …sepertinya kita terjebak dalam lorong ini.” Aku menyadarkan Jefta dan Ian.
“aku tahu, Ve…” Ian mengangguk sambil mengelus dadanya karena tersengal-sengal.
“ Terus kita harus gimana?” Jefta mulai putus asa.
“ aku juga bingung, Jef…”
Aku diam dan berusaha untuk berputar otak. Ini memang “permainan”
Akhirnya aku tidak sabar lagi, aku sudah pusing dengan semua ini.
Capek!
“ WHOOII,SETAN!!! KELUAR KALAU BERANI, JANGAN PERMAINKAN KAMI.”
Aku berteriak sekeras-kerasnya, dan tentu saja teriakanku ini memekakan telinga dan mengejutkan Ian dan Jefta.
“ VE! Apa-apaan siih?” Jefta menegurku. Jefta memeluk erat tubuhku.
“ Sudah…sudah, tenangkan dirimu.” Jefta mengelus rambut hitamku.
“ Aku capek dengan semua ini, Jef. Aku ingin pulang saja, persetan dengan taruhan yang ada, aku pingin pulang, Jef…Pingin pulang!”
“ Iya, aku tahu. Kalau masalah ini selesai kita pulang, Ok? Iya kan ,Ian?” Jefta menoleh ke Ian, tetapi ian tidak ada di tempat,
“IAN, IAN!!…” Jefta mulai panic,
“ IAN!!…IAN!!” aku juga berteriak.
“ Kemana Ian?…” aku berlari menelusuri lorong.
“ Ve!..Kamu mau kemana?” jefta mengejarku.
Dengan cepat Jefta berlari mengejarku dan meraih tanganku.
“ VE!! Stop,Ve…! Stop!...Dengar Ve!..Jangan gegabah, kamu harus sabar…kita cari Ian dan Zara…apapun yang terjadi.” Jefta berusaha menghiburku dan meyakinkan aku.
“ lalu apa yang harus kita lakukan?” tanyaku.
Jujur saja, aku sudah jenuh dengan keadaan ini, villa ini benar-benar angker.
Tiba-tiba ada suara orang mendekat dan berjalan perlahan-lahan. Aku dan Jefta mulai menajamkan pendengaran, dimana suara kaki itu berasal. Suara itu makin lama makin jelas terdengar, Aku mengenggam tangan Jefta.
Jefta dan aku saling berpandangan, berharap apa yang akan di lihat nanti adalah manusia bukan hantu, roh atau semacamnya,
Senter mengarah ke bunyi suara, dan dari kejauhan seperti ada sosok orang yang berjalan berlahan-lahan. Wajahnya belum terlihat jelas karena tertutup oleh gelapnya lorong. Lama kelamaan sosok itu makin mendekat dan terlihat jelas, ternyata Bi Nah.
“ Bi, Bi Nah..kok bisa kemari?” tanyaku kebingungan,
“ Iya, Bi… nanti Bibi terjebak bersama kami, saat ini kami tidak bisa keluar dari sini.” Jefta juga ikut kebingungan, Jefta memegang pundak Bi Nah.
“ Tidak, Kalian harus selamat dari villa ini…” kata Bi Nah.
“ selamat? Selamat bagaimana, ini aja kami berputar-putar di lorong ini saja. Jalan keluarnya tidak kami temukan.” Ujarku gelisah.
“ ada, kalian ikuti saya…”
Kami langsung saja mengikuti Bi Nah dari belakang, wanita tua yang masih suka mengenakan kebaya itu berlenggang menelusuri lorong, mulutnya berkomat-kamit entah mengatakan apa dan ternyata dia benar. Lorong ini ada ujungnya, tidak seperti tadi, sudah berjam-jam kami di dalam lorong dan tidak menemukan jalan satupun.
Tentu saja aku dan Jefta keheranan dengan apa yang tejadi, berbagai pertanyaan timbul di benak aku dan Jefta.
“ sebenarnya siapa dia?” gumamku dalan hati.
“ Sudah sampai, Cepat pergi dari sini dan silahkan cari Zara di sekitar hutan Cobanrondho ini, Ian dan Zara ada di sana.” Kata Bi Nah ketika sampai di ujung lorong.
“ terima kasih , Bi…”
Setelah kami berucap terima kasih, kami berlari dan siap-siap mencari Ian dan Zara yang di duga masih berada di dalam hutan sana.
“ sebaiknya kita hubungi Kevin dan Andreas, Jef.” Saranku.
“ Iya ya..pake handphoneku saja, kamu yang telpon mereka saja.”
Aku menerima handphone Jeftadan menekan nama Kevin dengan tombol “OK” dan aku melihat di layar handphone ada sinyal yang sangat kuat. Aku berharap segera diangkat, dan ternyata benar diangkat.
“ Hallo, Vin…”
“ Ya Hallo, gimana udah nemuin Zara dan yang lainnya?” tanya Kevin.
“ Zara belum ketemu , tapi yang ketemu Sean dan kondisi Sean…” aku tak sanggup melanjutkannya.
“ …Ve, kenapa Sean?” tanya Kevin.
“ Sean…Sean…. Sudah meninggal.”
“ Apa Sean meninggal?” Suara Kevin terdengar jelas kalau terperanjat setengah mati.
“ Iya..” jawabku sambil menangis.
Tiba-tiba terdengar Kevin berteriak histeris, Teriakannya menyayat hati.
“ VIN!!…KEVIN!!...”
“ kenapa Ve? Kevin kenapa?” tanya Jefta.
“ Aku nggak tahu, sesuatu menimpa Kevin.”
“ Bagaimana kalau kita telpon Andreas?”
Tanpa pikir panjang aku langsung menekan nomor Andreas, dan tersambung Untuk berkali-kali tetapi tidak ada jawabannya. Sudah berulang kali aku telpon dan aku tetap saja mendapatkan jawaban yang sama yaitu nada masuk yang kemudian berganti menjadi nada sibuk.
“ Jef, kayaknya mereka bermasalah. Aku semakin khawatir dengan ini semua.” Aku menundukan kepala dan terus terang aku sangat putus asa.
“ sudahlah kita langsung saja mencari Zara. Kamu jangan memisahkan diri dari aku. Untuk hal seperti ini kita harus bersama-sama.”
Aku memegang erat tangan Jefta dan kami berdua mencari Zara dengan memanggil namanya , mengaranhkan senter ke segala arah dan berharap ada clue agar menemukannya. Lalu dimanakan Zara sebenarnya?
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Clue,tanda
Zara berlari sekencang-kencangnya dan tidak perduli kemana arah larinya. Suasana semakin mencekam di tambanh lolongan suara anjing hutan yang memekakan telinga. Orang yang tidak biasa mendegarnya pasti bergetar jantungnya dan bulu kuduk merinding, belum lagi udara yang dingin dan gelapnya malam.
Tubuhnya basah karena keringat meskipun udara dingin terasa sampai ke tulang. Angin dingin yang terkadang meniup berlawanan dengannya tak di hiraukannya juga suara lolongan ajing yang membuat bulu kuduk berdiri juga di acuhkannya, yang penting Zara berlari, berlari dan sampai dia menemukan tempat persembunyian yang tepat.
Pocong yang dia lihat ternyata mengejarnya, karena itu dia lari seperti orang kesurupan. Sosok mengerikan berkapas itu mengejarnya, setengah terbang dan terkadang menghilang entah kemana.
Zara terengah-engah tetapi tetap saja berlari dan dia melihat WC umum yang terletak di pinggir sungai, kebetulan! Kondisi kakinya sudah tidak mamu lagi berlari jauh. Dia menuruni tangga yang terbuat dari batu kali itu, tak peduli licin atau tidak, dipikirannya hanya tempat persembunyian sampai seseorang menolongnya dari kegilaan tempat ini. Zara memasuki WC umum itu.
Kondisi WC umum itu sangat menggenaskan, atapnya saja dari asbes yang bolong dan tidak terawatt karena banyak sarang laba-labanya di langit-langit. WC umum itu terdiri dari tiga pintu yang berisi toilet sederhana, dengan bentuk bangunan yang ala kadarnya saja, lantainya hanya terbuat dari semen padat yang tidak di bentuk halus, tentu saja sangat kasar bila kita menginjaknya. tidak ada lampu yang menerangi meskipun lampu kecil ada di dalamnya. Tangan Zara meraba-raba tembok supaya bisa menemukan saklar. Nafasnya masih terengah-engah, pintu yang reot itu di tutupnya dengan buru-buru, dari sela-sela lubang pintu, dia mengintip keadaan sekitar yang mencekam, dan di saat mengintip memang pocong itu masih mengejar ke tempat dia bersembunyi, Zara gemetar, dia kaget saat pocong itu mendekati WC umum tempat dia bersembunyi. Zara panic, dia mengambil alternative untuk bersembunyi di salah satu toilet,
Dikuncinya rapat-rapat pintu toilet yang sudah rapuh itu. Zara berjongkok dan benar-benar sudah ingin menyerah dengan keadaan. Zara menundukan kepala kedua tangannya memeluk lututnya. Nafasnya benar-benar tak beraturan.
Tiba-tiba pintu utama terbuka keras
BRAAK!!!
Sungguh mengejutkan, Zara nyaris berteriak, tak tahu harus berbuat apa, hanya bisa berharap agar ada pertolongan mendadak yang sangat pas waktunya sekarang ini. Keadaan sangat senyap, mata Zara hanya bisa mengintip dari lobang pintu saja,
Dilihatnya hanya pintu saja yang terbuka, dan hanya suara angin saja yang terdengar, menggenapkan seramnya keadaan saat itu.
Tetapi tak lama. Sosok berbalut kain kafan itu terlihat,sekali lagi Zara nyaris berteriak, pocong itu berlahan-lahan masuk. Bau yang menyengat di WC sudah kalah karena rasa takut, bibir Zara bergetar, tidak tahu harus berbuat apa. Pocong itu terdiam dan pandangan Zara tidak terlepas dari makhluk halus itu. Pocong itu bergerak dari pintu utama ke pintu toilet pertama, ini sangat menegangkan. Otak Zara seakan meledak, mulut mungilnya ingin berteriak sekencang-kencangnya.
“ Tolong” dalam hati Zara.
Pintu toilet pertama sudah terbuka sendirinya, dan kosong. Tidak ada seorengpun didalamnya.
Pocong itu melompat dari pintu toilet kesatu ke pintu toilet kedua, dan yang pasti Zara di dalamnya. Tangan Zara menahan pintu sekuat-kuatnya.
Kini sosok putih berkapas itu sudah berdiri tepat di depan pintu toilet yang bersi Zara, dan…
“ ZAAR…” teriak aku dan Jefta, kami langsung masuk ke dalam toilet itu dan aku masuk menggeledah satu persatu toilet,
Aku menemukan Zara menangis di balik pintu , dia benar-benar ketakutan separuh nyawa. Aku memeluk Zara, dan kami sedikit lega dengan keadaan Zara yang kami temukan, dia hanya ketakutan saja.
“ Kita pulang saja, Jef…” ajak Zara pelan.
“ Ya, kita pulang saja , ternyata keadaan disini tidak memungkinkan untuk menghabiskan waktu liburan, disini sama sekali tidak berkesan.” Jawab Jefta.
“ sudahlah, kita kembali ke villa saja, kita pulang malam ini juga.” Saranku.
Aku juga sudah muak dengan keadaan yang memacu jantung, kalau liburan di habiskan dengan suasana seperti ini, bisa mati karena sport jantung.
Jefta dan Zara setuju, kita harus kembali ke villa dan memberitahukan Andreas dan Kevin, kakikai beriga ingin melangkah keluar dari WC umum yang pengap dan bau itu, tetapi tiba-tiba kaki Zara di tangkap oleh sebuah tangan yang pucat pasi, tangan itu keluar dari dalam WC, Zara teriak histeris. Aku dan Jefta kaget dan menarik Zara supaya terlepas dari tangan itu, akupun juga menginjak tangan itu. Akhirnya berhasil juga Zara terlepas dari genggaman tangan hantu itu. Kami berlari sekuat tenaga, melewati gelapnya hutan dan kembali ke tempat semula yaitu tempat aku dan Jefta yan terkurung di lorong belakang villa, Jefta menggenggam erat tangan ku dan aku menggenggam erat tangan Zara, Zara sempat terjatuh bangun ketika berlari, aku bersusah payah membantunya, dan posisi kami waktu itu seperti telur di ujung tanduk.
Akhirnya kami tba di ujung lorong belakang tempat kami terjebak , ini satu –satu nya jalan menuju ke dalam villa.
“ apa nggak ada jalan lain,Jef?” tanyaku.
“ nggak ada jalan lain, Ve…aku bukan pemilik villa ini jadi nggak tahu di mana jalan yang lainnya.”
“ ad aide?” tayaku lagi. Jujur saja aku nggak mau melewati lorong ini karena takut nggak bisa keluar.
“ Gimana kalau kita telepon Andreas saja.” Terbesit ide di benak Jefta.
Aku setuju.
Akhirnya aku yang menelpon Andreas, dan
“ Hallo…” terdengar suara Andreas sebagai lawan bicara.
“ Haloo , As… ini aku Vero,Zara udah kita temukan dan sekarang kita udah di ujung lorong belakang , apa nggak ada jalan lain untuk menuju ke dalam villa?”
“ ada, tapi lewat pohon bamboo yang rindang memang agak jauh , masalah nggak?” Tanya Andreas.
“ mending di coba dulu dari pada nggak sama sekali…pohon bamboo yang sebelah mana?/”
“ kalian muter jalan, lewati aja pohon bamboo yang ada di depan kalian,”
“ ewati pohon bamboo yang ada di belakang kita?” tanyaku mengulangi untuk meyakinkan dari apa yang aku dengar.
“ iya. Kalian berani tidak?”
“ kita coba dulu.”
Aku menutup pembicaraan dengan Andreas,
“ NGGAK!!! Aku nggak mau lewat situ, tadi pagi saja aku lihat sundel bolong di pohon bamboo itu.” Zara ketakutan setengah mati.
“ aku juga nggak mau lewat lorong ini karena sudah lari sampai kaki bengkak juga nggak bakal keluar dari lorong ini.” Aku agak emosi setelah mendengar penolakan Zara.
“ Ve, Zara belum tahu apa yang terjadi dengan kita sore tadi.” Bela Jefta.
“ Ya, dan kalian belum tahu juga apa yang terjadi dengan aku dan … Sean pagi tadi di pohon bamboo itu…” Zara mulai cemas.
“ Sudahlah, Zara…kita lewat ponon bamboo itu kan bertiga, bukan kamu aja, jadi nggak perlu setakut itu.”
“ Vero bener, Zar…waduuh kamu nggak tahu sih di dalam kayak apa, mana di sasarin lagi…” timpal Jefta.
Kami menatap wajah Zara yang lelah sekali. Kami tahu di satu sisi Zara takut dengan pohon bamboo itu karena menurutnya dia ada pengalaman yang menyeramkan dengan pohon bamboo itu, sebaliknya, begitu juga dengan Jefta dan aku, kami juga punya pengalaman yang cukup ‘ mengesankan’ dengan lorong gelap itu. Apa boleh buat kali ini Zara yang harus mengalah total.
Akhirnya kami memilih melewati pohon bamboo itu sebagai alternative terakhir untuk menuju ke villa. Lolongan anjing semakin lama semakin terdengar jelas saja, bahkan angin dingin gunung semakin menggigit sampai ke tulang.
Aku melirik jam tanganku, jam menunjukkan nyaris pukul sepuluh malam,
“ kita nggak ada waktu lagi, Jef…” ujarku.
Jefta mengangguk, Jefta dan aku sudah mantap untuk melewati pohon bamboo itu, aku memang melihat keraguan di mata Zara, tapi ku seret saja Zara, aku menggenggam erat tangannya yang dingin karena udara malam.
“ sudah Zar…anggap saja Test keberanian.” Jefta masih bisa bercanda di saat seperti ini.
“ Test keberanian nenekmu…” jawab Zara.
Aku hanya meringis, tertawa geli mendengar jawaban Zara atas kelakar Jefta.
Kami pun melewati pohon bamboo itu dengan perasaan yang was-was, memasang telinga dengan tajam, atas suara-suara yang aneh,kaki kami pun melangkah dengan pasti, lampu senter yang di pegang Jefta tetap menyorot ke keadaan sekeliling kami.
Perjalanan yang kami tempuh cukup jauh juga karena sesuai dengan kata Andreas harus muter dengan jarak yang cukup jauh juga. Lebih baik dari pada aku dan yang lain harus terperangkap di lorong neraka itu.
Sudah lima belas menit kami bertiga mencari jalan menuju ke villa ternyata ada juga jalan menuju ke villa.
“ Ve, jalan…jalan…ada jalan, ya… itu jalan…” Jefta menunjuk dengan cahaya senternya.
Aku dan Zara senang bukan main. Ternyata perjalanan kita sudah ada titik terang untuk menuju ke villa.
“ Sumpah, aku mau pulang hari ini juga begitu sampai ke villa.” Kataku semangat sekali.
Akhirnya kita sampai di jalan yang cukup luas untuk kendaraan motor dan mobil.
“ Kayaknya kita harus menunggu kendaraan lewat untuk sapai ke atas bukit. Kakiku udah pegel semua, kepalaku juga pusing banget.” Saranku.
“ iya, kayaknya nggak memungkinkan untuk berjalan lagi, kakiku udah mau patah rasanya.” kata Zara sambil memijit kakinya.
“ Ya, sama, aku juga udah haus dan lapar, pinggangku juga udak sakit, kedinginan juga…” Jefta juga mengeluh.
Bunyi jangkrik yang berkerik, suasana sepi sekali, bunyi daun-daun yang tertiup angin semakin menambah sekeliling hutan sangat mencekam saja. Terkadang angin bertiup kencang,kami sudah mulai bosan dengan acara menunggu kemdaraan lewat sekitar hutan , tapi mau nggak mau harus kita lakukan.
“ telpon Andreas aja sih…suruh aja dia jemput kita pake mobil. Sengsara amat sih?” aku mulai penat dengan ini semua.
“ Jef, tolong kamu aja yang telpon Kevin atau Andreas, Vero benar, Jef…kita udah nggak kuat lagi,nih…” Zara setuju dengan usulku.
“ ya udah, aku telpon Kevin aja.”
Jefta menelpon Kevin , wajahnya yang di terangi sinar bulan kelihatan sangat lelah juga. Telpon Kevin aktif tetapi tidak di angkat juga.
“ Telpon Kevin aktif tapi nggak di angkat juga. Gimana, dong?” Jefta mengarahkan handphone nya ke telingaku dan ternyata memang benar, sudah berkali-kali kita coba menghubungi Kevin tapi nggak diangkat juga.
“ Ampun deh…kemana sih Kevin?” aku kesal bukan main.
“ Lalu Andreas, Jef?”
“ Sebentar, Zar… ini juga aku coba hubungin Anderas , siapa tahu dia angkat.”
Nada di handphone aktif juga tetapi sama juga dengan Kevin tetap nggak di angkat, Jefta mulai curiga,
“ Ada apa dengan mereka berdua?” gumam Jefta.
“ kenapa Jef?” tanyaku.
“ Kevin juga ngga bisa di hubungi, Ve…”
Aku putus asa, mau nggak mau harus menunggu mobil atau kendaraan yang lewat sini. Pikiranku berkecamuk, mana Ian juga hilang entah kemana. Ditelan bumi atau di sembunyikan dimana…aku ingin menjerit.
Jefta menghapus air mataku dan berusaha menghiburku. Jefta yang hangat…selau saja ada di saat aku sedih.
Aku menyandarkan kepalaku di pundaknya.
“ kita cari Ian dimana. Jef?” bisikku.
“ Sabar ya… kita cari jalan menuju ke villa dulu setelah itu kita cari Ian sama-sama. Kita juga makamkan Sean di Jakarta.” Kata Jefta.
“ aku nggak nyangka, Jef…akan menelan korban seperti ini, dari awal berangkat kemari saja sudah lihat penampakan lah, pokoknya firasatku macam-macam.”
“ sudahlah Ve, kita juga nggak bermaksud mencelakakan Sean, atau Ian…kita akan cari tahu kemana Ian menghilang dan kenapa semua ini begitu mudah terjadi.”
Jawaban Jefta menyejukkan hatiku. Aku kehilangan Sean, lalu Ian yang tiba-tiba raib begitu saja, sekarang otakku masih belum bisa istirahat karena ini semua belum selesai, tiba-tiba bunyi andong dan kerincingan bel yang terkadang melingkar di leher kuda terdengar sayup-sayup. Serempak mata kami mencari arah suara. Dan dari kejauhan memang ada bentuk bayangan yang mirip andong datang mendekat.
“ Ve, andong datang, siapa tahu masih mau mengangkut penumpang, kita bisa ke villa lagi…”
“ Ya , Jef..”
Maki berdiri dan menyetop andong itu,
Andong pun berhenti.
“ Pak, masih ngangkut penumpang? Kita mau ke villa atas bukit.” Tanya ku
“ Ya, pak…tolong kami…ini sudah malam dan kami harus ke villa.” Kata Jefta.
Bapak penarik andong itu hanya terdiam, dan menatap tidak ramah, entah iya atau tidak, tatapan dinginnya mencerminkan ketidak sukaan tetapi kami terpaksa karena sudah setengah jam kami duduk di pinggir jalan dan kedinginan.
Kami naik satu per satu ke dalam andong, andong itu hanya ada satu penumpang saja, seorang wanita yang memakai kerudung, berkebaya sederhana, menunduk saja , entah tertidur atau merenungkan sesuatu. Dilihat sepintas wanita ini cantik sekali, tetapi kenapa dia pergi sendirian malam-malam begini…
“ Jef, baunya wangi seperti tujuh bunga, aku merinding” aku berbisik ke telinga Jefta.
“ Sudah jangan berpikiran yang bukan-bukan. Siapa tahu dia memang pakai parfum yang tujuh rupa.” Balas Jefta berbisik.
Aku melihat Zara tengah memandangi wanita itu, entah apa yang ada di pikiran Zara.
Andong berjalan pelan-pelan.
Bunyi kerincing kuda memecahkan keheningan malam itu. Peristiwa dua jam yang lalu masih mengusik otakku. Jujur saja aku semakin merinding, entah pengaruh apa. Yang penting kita samapi ke villa dan aku menepiskan semua kecurigaanku.
“ Sudah sampai , Nak… kita tidak bisa mengantar sampai ke dekat villa, hanya sampai sini saja.” Kata bapak tua itu tiba-tiba.
Aku memandang ke luar jalan, dan memang nampak villa sudah nyaris dekat
“ memang kenapa?, Pak kok nggak mau sampai ke dekat villa padahal tinggal beberapa meter lagi, paling satu kilometer lagi.” Sahut Jefta.
“… Karena kami tidak mau terkurung lagi dalam villa itu.” Jawab bapak penarik andong dan wanita cantik itu serempak, dan wajah mereka tiba-tiba berubah menjadi aslinya, bapak tua itu berubah menjadi pocong dan wanita itu tertawa melengking. Bajunya menjadi putih tulang dan kukunya panjang, begitu juga rambutnya yang tadi berbalut kerudung panjang kini berurai tak beraturan.
“ WAAAAAAAAAAA!!!!” kami pun teriak bersamaan.
“ Lari Ve…”
“ nggak usah di suruh, Jef…” sahutku.
Aku melompat turun dari andong,
Zara dan Jefta juga mengikuti caraku, mungkin karena terlalu feminine, Zara terjatuh pada saat mendarat kakinya terkilir. Jefta menolongnya.
Aku sudah berlari saja. Jefta memapah Zara dan Zara juga ikut lari meskipun kakinya terkilir.
Andong itu menhilang dalam sekejap.
Setelah aku tahu andong itu menghilang dalam sekejap, aku menghampiri Jefta yang tengah bersusah payah memapah Zara. Aku ikut memapahnya, setengah aku seret karena kami baru saja mendapat kejutan yang sangat memacu degup jantung. Kami sedikit lega ketika andong setan itu lenyap.
“ Andongnya …sudah…menghilang…” kataku sambil mengatur nafas.
Jefta menoleh ke belakang. Ternyata benar, andong hantu itu sudah hilang.
Villa sudah dekat, dan kami sekuat tenaga mencapai villa itu. Dan akhirnya kami bisa sampai juga di villa itu dengan langkah yang lunglai.
“ Vin, Andreas…buka!” panggil kami.
“ VIN…Buka, kita udah nyampai nih…” teriakku.
Tetap saja tidak ada jawaban,
“Ada apa sebenarnya?” gumamku kesal.
Bagaimana tidak? Wajah sudah kusut dan keringatan di tengah malam begini. Tidak ada suara yang menyahut sama sekali. Belum lagi kami sudah lapar dan haus. Sedari tadi juga kami tengah bermainmain dengan ‘penghuni’ sekitar Coban rondo.
Aku sudah tidak sabar lagi, kuraih gagang pintu dan aku membukanya. Ruangan sepi sekali. Kami masuk dan ruangan berbeda sekali dari sebelumnya. Kini villa ini menjadi kotor dan penuh debu, sarang laba-laba ada dimana-mana, sofa dan perabotan lainnya sangat berantakan sekali. Tembok putih menjadi hitam dan lembab. Villa ini seperti tidak di huni bertahun-tahun. Benar-benar berubah seratus delapan puluh derajat dari sebelumnya.
“ Apa maksud semua ini?” gumamku dalam hati.
“ mungkin kita salah masuk villa, Ve…” kata Jefta.
Aku menggelengkan kepala,
“ Nggak!..Jef, coba kamu periksa keadaan sekitar…lalu bagaimana dengan Andreas dan Kevin? Lalu Bi Nah?” aku bertanya terus.
Jefta dan Zara menurut saja, tiba-tiba pintu tertutup dengan keras, mengejutkan kami bertiga. Padahal tidak ada angin yang bertiup kencang.
Zara memeluk Jefta, aku juga kaget setengah mati tetapi berusaha menguasai hati dan pikiran.
“AS!...KEVIN!...” panggilku.
Aku menuju ke ruang tengah dengan melangkahkan kaki perlahan-lahan.
“ kita harus tetap waspada Jef…” kataku.
“ Ini pasti Kevin yang berniat ngerjain kita.” Kata Zara.
“ nggak!, ada yang aneh dengan semua ini.” Jawabku.
Begitu selesai aku berkata, ada bunyi seseorang menyeret sesuatu yang berat, lalu menutup pintu.
kami serentak menoleh.
“ Ve, apa itu…” Jefta berbisik di telingaku.
Zara dan aku merapat ke Jefta. Tangan Jefta yang memegang lampu senterpun mengarah ke pintu yang tadi tiba-tiba tertutup. Kami ingin memastikan siapa yang barusan lewat.
Kami bertiga sudah di depan pintu yang tiba-tiba tertutup tadi, ingin sekali membukanya. Jefta mencoba membuka pintu itu. Ternyata terkunci dari dalam.
Aku pun mencoba untuk membukanya, dan tetap saja terkunci, entah siapa yang ada di dalamnya.
“ Gimana,Jef? Pintunya terkunci dari dalam…apa kita dobrak saja?” tanyaku penasaran dengan apa yang ada di dalam.
“ Kamar ini kamar Kevin dan Ian, Jef…” kata Zara.
Aku mengamatinya, Ya Zara benar, ini kamar Kevin dan Ian.
Wajah Jefta terlihat keragu-raguan dan belum bisa memutuskan apapun.
“ aku nggak tahu ,Ve…Apa kamu yakin tadi ada seseorang yang masuk ke sini?”
“ aku yakin betul, Jef. Kamu lihat aja … pintunya terkunci dari dalam, ini terbukti kalau ada orang di dalamnya.” Jawabku berdasarkan logika.
“ Iya, sih…” Jefta mulai nalar. Dan membenarkan opiniku.
Aku sudah tidak berpikir panjang lagi, Jefta dan aku sepakat untuk mendobrak pintu ini.
BRAAK!!!
Pintu terbuka, hanya ada sarang laba-laba, debu , dan semua isi kamar yang berantakan. Lampu kamar yang remang-remang menambah suasana kamar cocok untuk syuting film horror.
“ Mirip kamar Britney Spears, Ve…” gurau Jefta.
“ Sstt.., Jangan bercanda, aku tonjok nih…” jawabku kesal.
Aku tetap saja memeriksa keadaan kamar dengan melangkahkan kakiku, siapa tahu ada sesuatu yang mencurigakan. Tapi sejauh aku mengarahkan lampu senter di setiap sudut dan cahaya senter yang menjelajah ke semua isi ruangan, tetap saja NIHIL.
“ Sudah, Ve…nggak ada tanda-tanda yang mencurigakan.” Komentar Zara.
Aku paham.
Lalu aku keluar kamar dan dari sebelah lemari, aku tidak sadar kalau ada pocong yang mengamati kita, sepertinya pocong itu tidak menampakkan diri ke kita. Kita pun melanjutkan lagi pencarian Ian , Kevin dan Andreas. Kami keluar kamar dengan tidak menutup pintu, KRIEET…terdengar suara derik pintu yang akan menutup, tetapi tiba-tiba pintu kembali terbanting seperti tadi. Kontan saja kami terbelalak kaget seperti tadi. Dan kami pun mencoba untuk mendobrak kembali namun kali ini tidak berhasil.
“ Sial!...HEY! KELUAR KAMU SETAN!!! “ Teriak Jefta.
Entah gara-gara Jefta teriak seperti itu atau ada hal lain, tiba-tiba pintu terbuka dan sosok pocong sudah ada di depan pintu.
WAAA!!!
Teriak kami bertiga nyaris bersamaan…spontan kami terbirit-birit lari sampai ke ujung lorong dan kami terpisah, Zara ke lorong sebelah kiri, lalu Jefta dan aku lari ke lorong sebelah kanan.
“ Bego!...Tolol…Goblok!...” aku tengah memaki-maki Jefta dengan nafas yang tersengal-sengal.
“ Maafin aku , Ve… aku nggak tahu kalau setan tadi ngajak kita bercanda,Ve..”
“ makanya jangan ngomong sembarangan, udah tahu tempat ini angker malah ngomong yang bukan-bukan”
“ tapi…ngomong-ngomong…dimana Zara?” tanyaku yang sadar bahwa kita sudah lari terlampau jauh.
“ Waduuh…iya juga ya… tuh anak lari kemana ya?”
“ kita cari lagi saja…gara-gara kamu nih…malah jadi begini.” Aku pura-pura kesal.
Aku dan Jefta lari menuju ke lorong semula dan kali ini lurus saja karena aku yakin Zara berlari secara berlawanan dengan kami. Aku dan Jefta kini ada di ujung lorong dan dan tetap lurus. Ada pintu kamar yang terbuka. Aku dan Jefta berhenti mendadak dan masuk ke kamar itu. Ternyata ada sebuah altar yang berisi sesajen, dupa, bunga dan…
“ Hey….ini…” kataku sambil mengambil lembaran yang ada di lantai kamar.
©©©©
To Be Continued.....Final Chapter